10.29.2010

Beralih dari Harta ke Darma

0 comments
Peta politik yang naik turun itu mewarnai perjalanan kita sebagai bangsa beberapa tahun belakangan ini. Pertanyaannya, apakah percaturan politik itu sesuatu yang lumrah ataukah sebuah perwujudan wacana yang berakar jauh kemasa silam ?

Doktor Damardjati Supadjar, dosen Fakultas Filsafat UGM, melihat, perjalanan bangsa dan para laki laki yang menerbos segala sesuatu. Terbukti kemudian Sukarno melawan kolonialisme dan melepaskan rakyat keluar dari belenggu penjajahan. Sayangnya, Bung Karno yang merupakan personifikasi dari kama itu terdepak lantaran dianggap tau arah gerakan pasukan Cakrabirawa. Gerakan yang kemudian oleh angkatan darat disebut sebagai upaya pendongkelan Sukarno dari jabatan Presiden.

Lantas, berpedoman pada surat perintah 11 maret 1966 yang diteken Bung Karno, Soeharto tampil hingga menjadi Presiden ke-2 RI. Dari dudut wawasan kosmologis, ia juga sosok yang tepat dengan priode kosmologi harta.

Darmadjati mengakui, keunggulan Soeharto yang lahir di Desa Kemusuk, 8 Juni 1921, terletak pada penghayatannya soal keseimbangan kosmis melalui laku asta brata, atau hidup religius alami. Laku yang menyesuaikan dengan kedelapan unsur yaitu matahari, bulan, bintang, suasana, tanah, bumi, air, angin, dan api. “jadi, Pak Harto itu juga memenuhi syarat dalam mempersonifikasikan tahap kosmologis (harta) itu.”

Sayang, dalam perjalanannya, jenderal yang murah senyum itu melakukan kesalahan fatal. Ia mengucapkan tekad yang bunyinya apa mukti apa mati (mukti = sejahtera) pada tahun 1945. Tekad itu diperkuat saat ia juga mengadopsi semboyan tiji tibeh : mukti siji mukti kabeh, mati siji mati kabeh (satu sejahtera, yang lain ikut sejahtera. Mati satu, mati semuanya.) Karena pada saat gerakan 1965 Soeharto mukti dan tidak mati, maka semua kroninya ikut mukti.

“Kita yang mempelajari visi-misi demikian, terus terang terkejut secara kejiwaan. Kok begini, mati untuk mukti, enggak ada ajaran Jawa begitu,” kata Darmadjati. Dalam ajaran Jawa, katanya, tidak dikenal orang mencari kekayaan. Yang dicap kaya justru orang luar. Sementara orang Jawa justru diidentikkan dengan kerendahan hati dan mementinggkan arah hidup. “yen wong jawa ilang kasutapane, pada karo Cina ilang petunge, pada karo Londo ilang budayane (jika orang jawa kehilangan arah hidupnya, itu sama saja dengan orang cina kehilangan kemampuan menghitungnya, atau orang Belanda yang kehilangan budayanya).”

Jadi, gangguan dalam menghadapi hari akhir Soeharto dan dinastinya adalah hukum yang mau tidak mau mengenai diri sendiri karena Soeharto salah membuat simpul mukti. Karena itu periode sekarang masih periode harta, dan kesalahan itu harus dikoreksi.

Dalam pengamatan Darmadjati, keguncangan yang menimpa Soeharto juga di perparah oleh kesalahannya dalam menafsirkan berbagai hal. Misalnya, pada pemugaran Monumen Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta tahun 1997, Soeharto menancapkan gunungan di belakang monumen. “padahal gunungan yang disusulkan dan ditancapkan tegak lurus, dalam pewayangan berarti goro goro. Terbukti, goro goro itu hingga sekarang belum selesai mewarnai kehidupan kita sebagai bangsa. Gunungan seharusnya ditancapkan sejak awal,” katanya. Dalam pewayangan gunungan merupakan wayang berbentuk gunung untuk mengawali, membatasi, dan mengakhiri lakon. Sementara goro goro menggambarkan suasana kacau-balau.

Soeharto juga dianggap ceroboh ketika memainkan lakon wayang Semar Mbabar Jati Diri (Semar Membuka kedok). “Enggak pernah ada semar itu mbabar jati diri. Semar sudah iklas menjadi rakyat dengan jati diri yang kesatria dan tak suka menonjolkan diri,” tandas Darmadjati. Semar adalah salah satu punakawan dalam dunia pewayangan, yang juga titisan dewa.

Persoalannya, kenapa Soeharto yang dianggap ahli laku bisa terjebak dalam kesalahan, “lha ini anehnya, kalau soal tekad itu orang bisa keliru.”

Maka agar periode beralih dari harta ke darma sesuai dengan periode kormologis, sebetulnya belum terlambat bagi Soeharto untuk membuang tali wangke (otak sial). Caranya, mengembalikan kekayaan dan seluruh sistem yang keliru. Ini sekaligus sebagai prasyarat agar periode harta beralih ke darma. Apalagi ilmu Jawa yang dianut Soeharto mengajarkan bahwa kekayaan sebaiknya jangan disimpan di laci. “kekayaan itu harus disebarkan di ujung kaki, nyebar undik undik. Inilah kesempatan emas keluarga cendana dan kroninya kalau mau diampuni,” tandas Supadjar.

Dalam praktek, udik udik (kekayaan) itu bisa di serahkan kepada rakyat melalui program Bangga Suku Desa, pembangunan keluarga bersuasana kota di desa. Program ini dicanangkan Soharto sendiri ketika memperingati hari lansia beberapa tahun silam. Jadi, menurut Darmadjati Supadjar sebenarnya ada peluang untuk mengoreksi secara total, Cuma sayangnya tak ada tanda tanda keluarga cendana mau melakukannya.


Sumber : Intisari 2001

0 comments:

Post a Comment